Jamu Indonesia
Sejarah jamu dii Indonesia tidak terlepas dari kekayaan alam negara kita yang melimpah ruah. Karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan biodiversitas terbesar di dunia, terutama tanaman / tumbuhan. Hal inilah yang menjadi salah satu sumber pemikiran orang – orang terdahulu dalam memanfaatkan hasil bumi. Selain sebagai santapan pengisi perut, tanaman – tanaman tertentu dipergunakan sebagai pengobatan suatu penyakit . Mungkin hal seperti ini bisa disebut lumrah, karena hampir semua manusia dibelahan penjuru bumi memanfaatkan hasil alam untuk kebutuhan pangan dan kesehatan mereka. Bahkan hingga saat ini masih ada suku-suku tertentu di pedalaman Indonesia yang masih menjalankan tradisi itu secara primitif, seperti suku-suku di pedalaman Papua, Kalimantan atau suku Baduy di Provinsi Banten.
Jamu Dari Masa ke Masa
Tetapi lain halnya dengan jamu, istilah jamu mulai ramai dipergunakan di masa – masa kerajaan jawa dahulu kala ( Beberapa kalangan ada yang mendeskripsikan Kerajaan Mataram kuno, tetapi ada juga yang mendeskripsikan Kerajaan Mataram baru ). Namun disini kita menyimpulkan bahwa jamu sudah ada sejak jaman Mataram kuno atau sekitar abad ke 7-8 masehi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa relief bergambar orang sedang menumbuk dan meminum jamu di beberapa candi yang berada di Jawa Tengah. Awalnya jamu hanya sebagai minuman khusus kalangan bangsawan di lingkungan kerajaan atau para punggawa /pasukan perang yang biasa mengkonsumsinya. Dengan kata lain jamu adalah minuman berkhasiat untuk kaum kelas atas. Peraciknya pun bukan sembarang orang atau siapa saja, tapi seseorang yang disebut Acaraki atau orang yang mempunyai kekuatan supranatural dan mahir dalam mengolah dan meramu jamu dengan pengakuan resmi dari pihak kerajaan.
Manfaat Jamu
Sama halnya dengan ramuan zhongyi dari China atau ginseng dari Korea, bahan jamu biasanya memanfaatkan akar-akar rimpang, dedaunan serta kulit atau batang tanaman tertentu yang memiliki khasiat untuk kesehatan.
Beberapa artikel menyebut bahwa kata jamu adalah singkatan dari bahasa Jawa kuno yaitu jampi dan usada yang artinya jampi ( mantra / doa ) dan usada ( kesehatan ). Dengan kata lain jamu adalah ramuan khusus untuk kesehatan yang telah diberi mantra atau doa – doa tertentu.
BACA JUGA: 8 Jenis Jamu Gendong
Seiring berjalan nya waktu, jamu terus berkembang secara dinamis. Semula hanya kaum tertentu di lingkup kerajaan yang biasa mengkonsumsi jamu, perlahan mulai menyebar ke masyarakat umum. Hal ini tidak terlepas dari peran para budak-budak kerajaan zaman dulu yang biasa melihat tradisi mengolah dan mengkonsumsi jamu di dalam lingkup kerajaan kemudian dicoba dirumah masing-masing sampai menjadi tradisi yang tidak terlepaskan bagi masyarakat Jawa dahulu. Bahkan tradisi minum jamu bukan lagi untuk penyembuhan penyakit, melainkan untuk menjaga kecantikan dan perawatan tubuh para wanita dahulu.
Bertahan berabad-abad lamanya, tradisi jamu tetap terpelihara dari masa ke masa. Hal itu diperkuat oleh karakteristik masyarakat Jawa dahulu yang selalu menjaga tradisi leluhurnya secara turun temurun dengan sangat apik dan penuh tanggung jawab. Jauh sebelum kaum kolonial datang ke nusantara, pengobatan segala jenis penyakit masih bertumpu pada ramuan berbahan dasar dari alam ( tanpa kimia ).
Jamu di Masa Kolonial Belanda
Sampai tiba kaum kolonial di nusantara tradisi jamu menjadi suatu hal yang menarik bagi beberapa kalangan kaum kolonial. Para peneliti dan dokter – dokter Belanda yang tertarik dengan jamu tak jarang belajar langsung kepada dukun / tabib yang pandai meracik ramuan untuk jamu. Bahkan sudah ada beberapa buku / jurnal yang dibuat oleh dokter – dokter Belanda yang membahas tentang praktek pengobatan dengan menggunakan ramuan jamu. Karena pada abad 16 pengobatan modern Eropa sedang berekspansi ke seluruh penjuru dunia, hal itu juga yang membuat eksistensi jamu mulai menyusut. Karena pengaruh kolonial yang sangat kuat merangsek kedalam semua lini kehidupan masyarakat, membuat tradisi masyarakat pun mulai berubah. Namun demikian tradisi jamu terus bertahan karena telah mengakar pada setiap individu masyarakat Jawa dahulu.
Filosofi Jamu
Secara historis jamu mempunyai nilai filosofis yang tinggi , dimana orang-orang terdahulu tidak sembarangan dalam membuat jamu. Ada beberapa jamu yang wajib / selalu diutamakan dalam pembuatannya dan sangat berkaitan erat dengan nilai – nilai kehidupan.
Begitupun tahapan-tahapan dalam mengkonsumsi jamu itu sendiri. Proses Pembuatan dan aturan mengkonsumsi jamu yang populer dibagi menjadi 8 bagian. Hal ini merunut pada arah penjuru angin yang berjumlah 8. Mulai dari kunir asem, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup dan sinom.
Kedelapan jenis jamu itu dikonsumsi sesuai urutan rasa, dimulai dari manis-asam, pedas – hangat, pedas pahit, tawar dan kembali ke manis.
Urutan tersebut merupakan representasi dari perjalanan kehidupan manusia, dimana rasa manis adalah masa balita dan anak-anak. Kemudian rasa asam merupakan representasi dari kondisi remaja tanggung ketika manusia melihat samar-samar kehidupan yang sebenarnya. Berikutnya adalah masa pradewasa yang disimbolkan dengan beras kencur. Di masa ini manusia mulai memasuki tahap kedewasaan, dimana di masa-masa ini biasanya masa percobaan dan egosentris ( apapun selalu ingin dicoba tanpa memikirkan akibatnya). Rasa beras kencur yang sedikit pedas menggambarkan bahwa manusia baru merasakan sedikit saja kehidupan yang sebenarnya, atau dikenal dengan istilah ‘rang yang masih bau kencur’. Rasa cabe puyang adalah rasa pahit dan pedas yang dialami manusia dalam kehidupan yang sebenarnya. Setelah itu seiring dengan berjalannya waktu, semakin tua semua rasa itu hilang dan berubah menjadi tawar. Dan pahit pun berubah menjadi manis kembali. Begitulah nilai filosofi jamu yang masih tertanam hingga saat ini.
JAMU DI MASA KINI
Kini eksistensi jamu sebagai warisan tradisi semakin menggaung dan populer di masyarakat. Seiring dengan kemajuan teknologi, banyak wirausahawan baru yang melirik jamu sebagai komoditas utama bisnis mereka. Ada yang fokus menjual bahan – bahan pembuatan jamu / empon-empon, ada juga yang mengolah jamu secara kreatif.
Tak hanya di gendong lagi kini para penjual jamu bisa memasarkan produknya dengan mudah hanya melalui handphone atau melalui marketplace serta media sosial yang kini menjadi salah satu tren gaya hidup masyarakat. Kemasannya pun beraneka ragam, mulai dari menggunakan botol plastik, botol kaca atau serbuk siap seduh yang dikemas secara menarik dan kekinian. Bahkan cafe-cafe atau kedai khusus yang menyediakan jamu sekarang mulai bermunculan dimana-mana. Sama halnya seperti kopi, kini jamu mulai menjadi bagian dari gaya hidup beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Namun demikian, penjual jamu gendong konvensional tetap bertahan dengan profesi mereka. Bahkan boleh disebut merekalah yang menjadi ujung tombak pelestari jamu saat ini.
Selain itu perusahaan-perusahan besar yang memproduksi jamu terus menerus berinovasi, baik dalam rasa, pengemasan ataupun layanan – layanan penjualan yang semakin berkembang. Dengan kata lain jamu bisa bertahan berabad-abad dan mampu menyesuaikan dengan perubahan zaman karena nilai filosofi jamu yang tertanam di benak masyarakat telah menjadikan jamu sebagai suatu kebutuhan yang tidak boleh terlepas dari aktifitas kehidupan sehari – hari. ( @rambu_semesta)