Elang Bondol Maskot Jakarta yang Semakin Sulit Dijumpai
Elang Bondol (Haliastur indus) telah lama menjadi maskot alam kota Jakarta. Namun, populasi mereka semakin menyusut, meninggalkan pertanyaan tentang masa depan mereka dan ekosistem tempat mereka tinggal. Namun, sayangnya, kisah tentang keberadaannya semakin terasa seperti dongeng yang semakin mengaburkan batas antara nyata dan tidak. Karena keberadaan mereka kini sangat sulit dijumpai. Mengenal Elang Bondol Elang bondol (Haliastur indus) adalah spesies burung pemangsa dari famili Accipitridae. Si maskot Jakarta ini berkuran sedang (43–51 cm), memiliki sayap yang lebar dengan ekor pendek dan membulat ketika membentang. Bagian kepala, leher dan dada berwarna putih, sisanya berwarna merah bata pucat, bagian ujung bulu primer berwarna hitam, dan tungkai berwarna kuning. Pada individu anak secara keseluruhan berwarna coklat gelap, pada beberapa bagian bergaris-garis putih mengkilap. Jenis elang yang satu ini lebih mirip burung pemakan bangkai dibanding burung pemangsa, namun burung ini memangsa buruan kecil seperti ikan, kepiting, kerang, katak, pengerat, reptil, dan bahkan serangga. Burung predator yang satu ini mencari makan di atas daratan maupun di atas permukaan air, burung ini terbang melayang di ketinggian 20 – 50 meter di atas permukaan. Elang Bondol adalah pemangsa yang cekatan dan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka memainkan peran vital dalam menjaga populasi hewan kecil seperti tikus dan reptil yang bisa merusak tanaman pertanian. Dengan demikian, kehadiran mereka penting untuk keseimbangan ekologi dan pertanian yang berkelanjutan. Maskot Kebanggaan Jakarta Elang Bondol bukan hanya burung biasa. Mereka adalah simbol kebanggaan, keberanian, dan keindahan alam yang melambangkan semangat kota Jakarta. Dengan sayap yang kuat, mereka menggambarkan kemajuan dan keberanian yang mengangkat Jakarta sebagai salah satu kota terbesar di dunia. Elang bondol dan salak condet resmi dijadikan sebagai maskot kota Jakarta pada tahun 1989. Hal itu bisa dilihat di kawasan Cempaka Putih. Di sana terdapat sebuah patung tegak berdiri, yakni patung “burung bondol membawa salak condet”. Ancaman & Habitat Elang Bondol Kini, habitat alami Elang Bondol semakin menyusut karena urbanisasi yang pesat di Jakarta. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan infrastruktur perkotaan telah menggusur habitat alami mereka. Selain itu, polusi udara dan limbah juga memberikan tekanan tambahan terhadap populasinya. Habitat terbaik untuk spesies ini adalah area tepi laut yang berlumpur seperti hutan mangrove, muara sungai, dan pesisir pantai. Kepulauan Seribu menjadi salah satu lokasi burung ini. Baca Juga: Ini dia penyebab harimau Jawa & Bali punah Konflik dengan Manusia Konflik dengan manusia juga menjadi ancaman serius bagi Elang Bondol. Perburuan ilegal dan perdagangan satwa liar menyebabkan penangkapan dan perangkap mereka untuk dijual sebagai koleksi atau bahkan disiksa. Selain itu, insiden pemangsaan dan keracunan oleh pestisida juga semakin meningkat. Upaya Konservasi Meskipun tantangan besar, namun masih ada harapan untuk pelestarian. Berbagai upaya konservasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lingkungan dan pemerintah lokal mulai kini memperlihatkan hasil yang positif. Perlindungan habitat alami, pengawasan terhadap perdagangan ilegal, dan kampanye kesadaran masyarakat menjadi kunci dalam upaya mempertahankan keberlangsungan Elang Bondol. Panggilan untuk Aksi Upaya perlindungan & konservasi masih belum cukup. Perlu adanya kolaborasi yang lebih besar antara pemerintah, LSM, dan masyarakat umum. Serta perlu adanya regulasi tentang pengaturan tata ruang yang berbasis ramah lingkungan. Melalui edukasi, kesadaran, dan tindakan nyata, kita dapat mencegah Elang Bondol dari mengalami nasib yang sama dengan harimau Jawa. Seiring langkah kaki manusia yang semakin cepat, pertanyaan tentang masa depan Elang Bondol semakin mendesak. Namun, dengan kesadaran dan aksi kolektif, kita dapat memastikan bahwa simbol alamiah Jakarta ini akan tetap terbang bebas di langit-langit ibu kota, menjadi saksi bisu dari kemajuan yang berkelanjutan dan keberagaman alam yang mempesona.
Ini Dia Penyebab Harimau Jawa & Bali Punah
Di antara kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, keberadaan harimau di Jawa, Bali dan Sumatera yang telah lama menjadi sorotan. Namun, kehadiran spesies ini kini hampir lenyap dari pulau-pulau tempatnya dulunya berkeliaran bebas. Abad ke-20 ditandai dengan kehilangan besar-besaran keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Salah satu korban tragis dari fenomena ini adalah Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica), dan harimau Bali (Panthera Tigris Balica). Salah satu spesies karnivora besar yang dulunya mendominasi hutan-hutan Jawa dan Bali. Namun, mengapa Harimau di pulau Jawa & Bali lebih dulu punah dibandingkan dengan spesies harimau lainnya menjadi sebuah pertanyaan yang mengganggu para ilmuwan dan pengamat alam. Masa Kepunahan Harimau Jawa Pada awal abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di Pulau Jawa. Pada tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil. Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit. Pada tahun 1950-an, ketika populasi harimau jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Pada tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri. Ada kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari ialah pada tahun 1972. Pada tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di Pulau Jawa. Kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Pada tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverifikasi. Berikut ini beberapa penyebab harimau Jawa & Bali punah: 1. Habitat dan Geografi Salah satu perbedaan kunci adalah faktor habitat dan geografi. Harimau Jawa dan Bali hanya ditemukan di pulau yang relatif kecil. Sementara Harimau Sumatera memiliki area habitat yang lebih luas di Pulau Sumatera. Harimau Sumatera memiliki akses ke hutan hujan yang lebih luas dan lebih terisolasi, yang memungkinkan mereka untuk menghindari interaksi manusia yang berlebihan. 2. Tekanan Manusia Pulau Jawa dan Bali telah mengalami tekanan manusia yang jauh lebih besar daripada Sumatera. Pertumbuhan populasi yang cepat, urbanisasi, dan pertanian intensif telah menyebabkan fragmentasi habitat dan hilangnya lahan liar di Jawa dan Bali dengan cepat. Hal ini meningkatkan konflik antara manusia dan harimau serta meningkatkan tekanan perburuan untuk memenuhi permintaan produk-produk harimau dalam praktik-praktik tradisional. Kemudian beberapa tradisi di yang menjadikan harimau sebagai objek hiburan semata. Seperti rampogan macan, adu macan dan lain lain. Lalu pengaruh dari kolonialisme yang mengintruksikan perburuan harimau untuk kepentingan bisnis & penjajahan mereka di Pulau Jawa. 3. Ukuran Populasi Awal yang Lebih Kecil Harimau Jawa dan Bali memiliki populasi yang lebih kecil saat awalnya. Berbeda dengan populasi Harimau Sumatera yang jauh lebih besar. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan eksternal seperti perburuan ilegal dan hilangnya habitat. 4. Kurangnya Perlindungan Minimnya upaya perlindungan di Jawa & Bali dikarenakan kebutuhan manusia yang jauh lebih besar atas hutan di Pulau Jawa & Bali. Perlindungan yang lebih efektif dan penegakan hukum yang lebih kuat sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup spesies-spesies yang terancam punah. 5. Kehadiran Pendukung Konservasi Harimau Sumatera telah mendapat perhatian yang lebih besar dari komunitas internasional dan lokal dalam hal konservasi. Ini termasuk upaya-upaya pemantauan dan perlindungan yang lebih besar, serta dukungan finansial yang signifikan dari organisasi-organisasi konservasi. Mari Membantu Menjaga Kelestarian Harimau Sumatera Meskipun kebaradaan harimau di Indonesia menghadapi tekanan yang serius, faktor-faktor seperti ukuran habitat, tekanan manusia, perlindungan, dan dukungan konservasi telah memainkan peran kunci dalam menentukan nasib masing-masing spesies. Melalui pemahaman tentang perbedaan-perbedaan ini, kita dapat belajar untuk melindungi dan mempertahankan spesies-spesies langka lainnya di masa depan. damarpilau.id